Senin, 02 Juli 2012

JURNAL NIA


ISLAMISASI INDONESIA
Marta Nia Zuriyati[1]

ABSTRAKSI
Dalam sisi mayoritas negara Indonesia, umat muslim memiliki konsep tersendiri dalam memaknai sebuah negara. Sistem seperti apa yang patut diterapkan dalam konsep kenegaraan di Indonesia ini, yang mampu disandingkan dengan budaya, masyarakat serta agama dan semua itu bersifat majemuk (beragam). Beberapa pemikir Indonesia menginginkan adanya islamisasi (membuat menjadi islam) di Indonesia yaitu menjadi negara islam atau sistem Khilafah dan ada juga yang menginginkan Indonesia menjadi negara nasionalis-sekuler. Artikel ini mencoba memberikan pemahaman baru terhadap bentuk islamisasi di Indonesia dengan menggunakan metode library research (metode kepustakaan), dan tetap melihat sudut minoritas di Indonesia, karena bukan negaranya yang harus diislamkan tapi umat dan pemimpinnya-lah yang patut diislamkan.

Kata Kunci : Civil Society, Kebudayaan, Agama dan Negara
A.     Pendahuluan
Islam, agama rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil-’alamin), memiliki pemahaman yang secara global,  Dimana islam adalah hal yang menyangkut keyakinan seseorang dan memiliki sifat sensitif. Agama juga memiliki sumber etika atau moral dalam kehidupan bermasyarakat. Islam juga telah menyediakan sekian nilai-nilai yang universal untuk memecahkan berbagai persoalan, termasuk persoalan bernegara. Adanya keterkaitan antara agama dan negara bahkan politik, memberikan warna tersendiri dalam cara pandang kehidupan bernegara ataupun berpolitik yang kaitannya dengan agama dan politik. Mulai dari bentuk negara yaitu negara islam (khalifah), negara nasionalis (sekuler), bentuk kerajaan (feodal atau monarki), dan sebagainya.
Hubungan agama dan negara di Indonesia memiliki beberapa perspektif. Banyak perdebatan yang muncul pada saat pembentukan negara Indonesia. Sampai munculah Pancasila sebagai landasan kebersamaan (common platform) dalam setiap aktifitas bernegara, yang mewakili agama, persatuan, keadilan, kerakyatan, dalam permusyawaratan (demokrasi). Tetapi, masih ada beberapa orang bahkan kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara islam (sistem khalifah) seperti pada masa Rasulallah SAW. Negara islam yang dimaksud adalah negara yang benar-benar merubah semua sistem negara, sistem politik, dan sistem hukum. Menjalankan syariat islam, bertindak berdasarkan fiqh, menjalankan ajaran-ajaran Allah beserta hukumnya dan masih banyak lagi. Yang intinya semua aktifitas kehidupan berpolitik, bernegara, bermasyarakat menggunakan doktrin-doktrin dan ajaran-ajaran islam.
Kenyataannya, Indonesia negara yang majemuk dan multikultur. Agama, budaya, suku, bahasa, ras, dan lainnya. Keberagaman inilah yang mengakibatkan Indonesia tak bisa menjadi negara islam, karena melihat segi minoritas yang ada di Indonesia. Seperti dikemukakan Rupert Emerson: “Inti dari masalah itu dalam sebuah masyarakat yang majemuk adalah bahwa bukanlah satu rakyat yang menentukan dirinya tetapi dua atau lebih.”[2] Dari penjelasan Emerson sudah terlihat, tak hanya kelompok mayoritas yang mampu menentukan masyarakat bernegara tapi adanya kebersamaan antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritaslah yang mampu menentukan arah dan tujuan bernegara. Melihat dari ruang lingkup Indonesia yang memiliki karakteristik yang diunggulkan multikultur, pluralis dan kemajemukan.
Indoensia yang memiliki mayoritas penduduk muslim, mampu memaknai bagian dari apa yang disebut tsaqofah islamiyah (peradaban islam) tersebut menyediakan kekayaan cara pandang terhadap kehidupan manusia yang secara serius hendak disandarkan pada isi al-Quran dan al-Hadist. Bagaimana kita sebagai bangsa yang modern mampu mengkontekstualisasikan ajaran al-quran dan al-hadits dalam kehidupan bernegara dan politik. Menggunakan ajaran-ajaran islam sebagai filter dalam menyikapi fenomena di era globalisasi saat ini. Islam ada didalam hati setiap umatnya.
Civil society, konsep multikultur dengan pancasila, politik dalam bingkai fiqh, hukum islam dengan konsep adl’ (adil), presiden yang jujur (shidiq), dapat dipercaya (amanah), cerdas (fatonah), dan berani memberantas KKN (tabligh), tak lupa musyawarah (syura’) sebagai elemen penting demokrasi. Semua itu harus dilakukan untuk harapan Indonesia menjadi negara yang baik, jujur, adil, dan mampu mensejahterakan rakyatnya dan tujuan bernegara pun dapat terealisasi dengan baik, yaitu kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Serta upaya mencerdaskan rakyat agar tak tertipu janji-janji kampanye oportunis-oportunis politik yang tak bermoral harus intensif dilakukan. Sehingga, Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi perbedaan, mampu memberiakn contoh positif dalam sikap bernegara. Untuk menjadi warga negara yang baik, bebas, dan muslim sejati, sesungguhnya tak diperlukan negara, yang dibutuhkan adalah kehidupan demokratis, tanpa adanya tekanan  serta mampu menerapkan pancasila sebagai cita-cita bersama dalam bingkai budaya dan agama yang beragam.

B.     Tinjauan Teoritis
Penulis memberikan tinjauan teori tentang hubungan antara agama dan negara dalam semangat islam, dengan mendekati pemikiran tentang pembaharuan politik Nurcholis Madjid, seorang cendikiawan islam Indonesia dan pemikiran tentang kriteria pemimpin serta konsep masyarakat Al-Farabi seorang filsuf islam dalam bukunya yang terjenal yaitu Madinatul Fadilah (Negara Utama).  
Dalam pemikiran Cak Nur tentang pembaharuan poltik, memfokuskan pada tigal yang harus dilakukan Indoensia. Tentang pentingnya oposisi, civil society dan pancasila sebagai ideologi terbuka[3]. Pemikiran Cak Nur tentang pembaharuan politik yang pertama ialah pemikirannya mengenai pentingnya oposisi. Dimana yang sudah dijelaskan diatas tentang fungsi partai oposisi sebagai komponen demokrasi. Cak Nur mengatakan agar adanya keseimbangan antara partai penguasa dan partai sengai oposisi. Cak Nur menyebutnya dengan “memompa ban kempes”, maksudnya adalah Cak Nur mendukung partai oposisi yang memiliki kekuatan dan menjadi kontrol bagi partai penguasa agar terciptanya kesimbangan politik yang baik dan sehat. Pada era orde baru dikenal istilah 3M (militer, mesin birokrasi, money) yang mendukung kekuatan Golkar.
Ide tentang oposis di maknai Cak Nur pada ajaran agama islam. Bahwa Allah menciptakan bumi dengan segala keseimbangannya. Semua makhluk yang diciptakan Allah haruslah saling melengkapi. Tapi semua itu jika ditarik ke arah politik tidaklah menarik. Ada juga partai oposisi yang menentang gagasan Cak Nur. Prinsip demokrasi mengenai check and balance jika menjadi salah satu komponen pendukung dalam pemikiran Cak Nur mengenai oposisi.  Ide-ide mengenai oposisi banyak disambut baik dengan kalangan aktvis muda. [4]
Pemikiran Cak Nur ini muncul disaat pak Harto dituntut untuk mundur pada tahun 1998. Cak Nur mengatakan bahwa satu-satunya yang mampu menjaga kestabilan bangsa adalah Civil Society (masyarakat Madani) dan Cak Nur menjadi inisiator dari gagasan tersebbut. Tidak lama berselang, Nurcholis Madjid mengadakan pertemuan dengan intelektual universitas yang bertujuan untuk merumuskan perbaikan sistem yang terlamjur didominasi dengan pemerintah dna bisnis. Mengabaikan pilar penting yaitu Civil Society, dan diputuskan bahwa kesimpulan dari pertemuan itu adalah penyelesaian dengan civil society.
Pertemuan ini menjadi cikal bakal lahirnya gerakan masyarakat madani, gema madani, dikalangan intelektual yang akan merencanakan dua gerakan sekaligus untuk melanjutkan perjuangan reformasi. Yaitu social movement yang diwakili Emil Salim dan political movement yang diwakili Amien Rais. Bagian Cak Nur adalah moral force yang menghubungkan kedua sayap civil society tersebut. Unsur-unsur inilah yang secara intensiv memasok pemikiran yang mengarahkan gelombang reformasi yang sedang berlangsung.
Pada saat itu cak nur mengatakan bahwa pak Harto hatus segara turun dari pemerinthan Indonesia. Karena suara-suara yang sudah diteriakkan rakyat tersebut. Akhirnya pak Harto bersedian mundur dengan baik. Maka Cak Nur menyodorkan sebuah konsep yang dinamakan husnul khatimah. Bagi Sudhamek pemimpin umat Budha, apa yang dilakukan Cak Nur bukan sekedar solusi dari permasalahan genting saja yang dihadapi Indonesia tapi, teladan bagi berpolitik dengan cara baik. Apa yang dilakukan Cak Nur selama hidupnya meletakan fondasi yang kuat dalam  kehisupan berbangsa, melakukan apa yang telah dirintis oleh the founding fathers. Cak Nur adalah tokoh pembaharuan politik, karena ide-idenya seperti oposisi loyal,civil society, demokrasi, Pancasila sebagai common platform bangsa, pliralisme dan hak asasi manusia.[5]
Menurut Cak Nur dalam pemikirannya tentang Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah Pancasila sebagai ideologi negara yang sifatnya open minded, jika pancasila dipahami secara terbuka. Yang bertujuan untuk demokrasi modern menuju masa depan yang memiliki tatanan sosial politik yang baik. Cak Nur mengatakan bahwa, Pancasila jangan dirumuskan secara mendetail sekali untuk selamanya (once and for all), hal itu lah yang menyebabkan ideologi menjadi ketinggalan zaman. Pendapat Cak Nur tersebut memperoleh kritikan dari berbgai golongan, termasuk kepala BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan pelaksanaan pedoman penghayatan Pancasila). Beliau memberikan keterangan atas maksud dari pemikirannya tersebut. Setiap warga negara berhak memberikan kontribusi pada penafsiran Pancasila. Penafsiran tungga atas Pancasila dapat menimbulakn totalitarianisme.[6]
Setelah kita mengetahui pemikiran Cak Nur tentang pembaharuan politik di Indonesia, penulis juga akan memberikan tinjauan teori dengan pemikiran filsuf islam yaitu al-farabi, yang terkenal dengan bukunya Al-Madhinatul Fadhilah. Farabi memberikan sebuah konsep bernegara yang baik dengan mencontoh negara sempurna yaitu masa kepemimpinan Nabi Muhammad di Madinnah. Farabi dengan pemikirannya tersebut memberikan penjelasan tentang konsep negara, kriteria pemimpin dan bentuk-bentuk masyarakat. Tapi, Farabi dalam pemikirannya tersebut tak mampu memberikan penjelasan seperti apa konsep sistem politik yang baik, demokrasi, sistem parlemen, sistem monarki atau sistem otoriter. Dan Farabi pun tidak memberikan penjelesannya mengenai itu.
Konsep pemikiran Al Farabi tentang negara tertulis pada bukunya yang berjudul Madinatul Fadilah (Negara utama). Farabi memberikan penjelasan tentang sebuah bentuk tatanan negara yang ideal bahkan disebut negara yang sempurna. Farabi melihat Madinnah sebagai ibu kota negara islam pertama, sebagai sumber cita – cita. Madinah telah menjadi inspirasi Farabi untuk membut suatu konsep tentang negara yang ideal. Untuk membicarakan mengenai asal – usul negara utama atau negara ideal, Farabi mengemukakan negara itu berasal dari masyarakat kota, yang harus dimulai dari manusia yang menjadi warga negaranya yang berkehendak membentuk sebuah masyarakat dengan menyatukan tujuan kebaikan bersama. Masyarakat harus memilki sifat tidak egoistis, kolektif dan kooperatif. Mengenai persoalan kepala negara, kepala negara ialah harus seorang yang paling ulung dalam persoalan ilmu pengetahuan, serta paling suci akhlak rohaninya yang dinamakan filsuf yang bersifat nabi. Negara utama Farabi memiliki 3 syarat keunggulan, unggul dalam ilmu pengetahuan, unggul dalam ideologi dan unggul dalam agama. Ideologi Farabi dibagi menjadi 2, negara utama dan negara Jahiliyah, tidak berideologi monarki, aristokrasi bahkan demokrasi. [7] 

Al-Farabi membedakan dua ideologi mengenai negara, yaitu negara utama (Madinnatul Fadilah) dan negara jahiliyah (Madinatul Jahiliah).[8] Negara utama atau Madinatul Fadilah seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan tentang asal-usul negara yang difokuskan pada negara utama atau negara sempurna atau negara ideal. Pembahasan mengenai lawan kata negara utama atau Madinatul Fadilah adalah negara Jahiliyah atau Madinatul Jahiliah. Negara jahiliyah memiliki empat macam bentuk negara, negara bodoh, negara perusak, negara merosot dan negara sesat.[9] Negara bodoh adalah negara (Madinatul Jahiliyah) adalah negara yang rakyatnya tidak tahu tentang arti kebahagian dan kesejahteraan. Jika rakyatnya diberitahu, rakyat tersebut tidak mau mendengar dan tidak mau percaya.negara yang bodoh itu bermacam-macam. Ada negara primitf yang rakyatnya hanya perhatian dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, misalnya makan, inim, tempat tinggal dan jodoh serta perdegangan untuk memenihi kebutuhan tersebut. Negara maju, tetapi perhatian rakyatnya hanya terpusat pada kerjasama dalam kemudahan dalam penumpukan materi dan kekayaan. Negara yang hanya ingin menikmati hiburan semata, makanan, miniman, dan seks. Negara yang tujuan hidup rakyatnya untuk dihormati, tersohor dan dipuji. Negara yang rakyatnya hanya ingn melakukan perlawanan dengan negara lain dan yang terakhir dari negara bodoh yaitu negara yang rakyat ingin melakukan kebebasan untuk berlaku semaunya yang akan menimbulkan anarki.[10]
Negara yang rusak (Madinatul Fasiqah) adalah negara yang tahu apa arti kebahagiaan, sama halnya dengan negara utama. Tetapi negara itu berperilaku seperti halnya negara bodoh, negara tersebut mengetahui hal – hal yang baik tetapi mereka melakukan hal – hal yang hina. Negara yang merosot (Madinatul Dallah) adalah negara yang memilki pandangan hidup dan berperilaku sama dengan negara utama, tetapi berubah kedalam kehidupan yang tidak terpuji lagi. Negara sesat (Madinatul la Diniyah) adalah negara yang diliputi oleh kesesatan, penipuan dan kesombongan. Rakyatnya tidak percaya adanya tuhan dan pemimpin negara mengakui dirinya sebagai tuhan yang menerima wahyu dan menganggap dirinya sebagai nabi. 
Menurut Al – Farabi macam masyarakat ada dua yaitu masyarakat sempurna dan masyarakat tidak sempurna. Masyarakat sempurna menurut Al Farabi terdiri dari 3 bagian, masyarakat sempurna besar, masyarakat sempurna sedang, masyarakat sempurna kecil. Masyarakat sempurna besar adalah masyarakat yang terdiri adari beberapa bangsa yang memilki tujuan bersama. Masyarakat sempurna sedang terdiri dari masyarakat yang terdiri dari berbagai kota dalam satu bangsa. Masyarakat sempurna kecil adalah yang terdiri dari penghuni kota. Dalam kata lain adalah masyarakat sempurna besar adalah perserikatan bangsa – bangsa, masyarakat sempurna sedang adalah negara nasional dan masyarakat sempurna kecil adalah negara – kota. Menurut Farabi masyarkat yang paling baik sistem politik dan sistem sosialnya adalah masyarakat sempurna kecil atau negara – kota. [11] 
Masyarakat tidak sempurna menurut Farabi adalah penghidupan sosial di tingkat desa, kampung, lorong, dan keluarga. Dan dari bentuk yang paling tidak sempurna dalam pergaulan adalah keluarga. Karena dari bentuk diatas menurut Farabi tidak cukup lengkap untuk berswasembada dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan warganya, baik kebutuhan ekonomi,sosial, budaya maupun spiritual.[12]
Pemikiran Al – Farabi mengenai kriteria dan sifat – sifat pemimpin memiliki sifat sufi dan memliki pengetahuan yang luas seperti seorang filsuf serta memiliki sifat kenabian. Sifat dan syarat yang ditekankan oleh Farabi ialah sehat badan, angota badannya selamat dan lengkap. Ingatan yang kuat, keceerdasan tinggi, tanggapan yang cepat, tanggapan yang baik, cinta ilmu dan selalu haus akan ilmu. Menghiasi diri dengan kejujuran, dapat dipercaya. Membela keadilan , kuat kemauan, kuat cita – cita dan tidak rakus, serta menjauhi kelezatan – kelezatan jasmani. [13]
Walaupun demikian Farabi tidak segan untuk memberikan syarat yang lebih kompleks. Farabi lebih mndekatkan pada sifat kesufiannya yang fokus dalam keislaman. Syaratnya adalah pemimpin negeri utama atau negara sempurna mampu menaikkan ke derajat akal fa’ al yang melebihi wahyu dan ilham. Akal fa’al adalah salah satu dari akal 10 yang meneglola alam, sebagai titik yang menghubungkan antara tuhan dengan hambanya dan sumber hukum dan undang – undang yang dibutuhkan bagi kehidupan moral dan sosial. [14] 
Dalam pengangakatan pemeimpin negara utama, Farabi menekankan pada 4 sebab pengangakatan. Pengangkatan kepala negara karena pakasaan kekuatan, karena kepala keluarga, karena hubungan kebendaan, dan karena pilihan bersama. Farabi lebih mendukung sebab yang terakhir. Pendapatnya tersebut dipengaruhi oleh 2 pendapat yang berbeda, Plato yaitu pemimpin haruslah seorang filsuf dan kaum Syi’ ah bahwa pemimpin haruslah seorang imam yang maksum, yang paham agama dan suci dalam segala tingkah laku dan perbuatannya. [15]
Dengan melakukan tinjauan teori, dengan mendekati pemikiran dua tokoh diatas. Penulis akan mengkontekstualisasikan dengan realita di Indonesia. Memiliki kemajemukan atau bersifat pluralitas dalam aspek agama, budaya, ras, dan lain-lainnya, memiliki sistem politik demokrasi, memiliki sistem pemerintahan presidensil dengan pemimpinnya seorang presiden dan memiliki sistem kenegaraan yaitu republik. Sehingga menimbulkan identitas politik atau identitas dalam pemerintahan yang selalu dipengaruhi oleh budaya dan agama. Bagaimana kita mampu ‘mengislamkan’ Indonesia dengan melihat aspek multikultur agama, budaya, ras, dan aspek minoritas yang lainnya. Yang menjadi sebuah kesatuan yaitu Negara Kesatuan Republik Indoneisa, dalam satu ideologi Pancasila dan semboyannya Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tapi tetap satu). 

C.     Pembahasan
Dalam pemahasan tentang Islamisasi di Indoenesia, penulis memberikan pembahasan mengenai konsep masyarakat (civil society), kebudayaan di indonesia dan agama dan negara. Konsep masyarakat di Indonesia, Civil Society atau masyarakat Madani adalah salah satu contoh aktor non negara. Masyarakat Madani adalah elemen masyarakat atau penduduk negara yang berfungsi sebagai pengontrol pemerintahan negara, tapi masyarakat madani disini tidak bergerak di bidang politik (law political)
Menurut sejarah perkembagannya, pada tahapan fase kelima. Civil society muncul sebagai reaksi terhadap madzab Hegelian yang dikembangkan dalam Alexis De Tocqueville (1805-1859). Sebagai kelompok penyemimbang kekuataan negara. Kekuatan kelompok politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi semakin kuat.[16] Karakteristik masyarakat madani adalah, memiliki wilayah publik sphere yang bebas, demokrasi, toleransi, pluralisme dan keadilan sosial.[17]
Masyarakat Madani di Indonesia memiliki kiprah yang cukup baik, pada saat masa merebut kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan hingga masa-masa kemerdekaan, masyarakat Madani ini memiliki kontribusi yang cukup baik dalam perjuangan penegakan HAM dan perjuangan melawan Kolonial. Sifat kemandirian dan kesukarelaan, merupakan karakter khas masyarakat Madani di Indoensia. [18]
Penulis memberikan ulasan tersendiri bagaimana caranya memwujudkan masyarakat Madani di Indonesia:
  1. Pandangan mengenai integrasi nasional dan politik. Sistem demokrasi tidak mungkin terwujud dalam kenyataan hidup jika masyarakat dalam tindakan sehari-harinya belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat. Demokrasi tanpa adanya kesadaraan dan rasa berbangsa yang kuat, akan dipahami sebgai kebebasan tanpa batas yang diwujudkan dengan tindakan anarkhis yang berpotensi pada lahirnya kekacauan sosial, ekonomi, dan tindakan politik.
  2. Pandangan reformasi sistem politik demokrasi, bahwa membangun demokrasi tidak usah terlalu menggantungkan pada pembangunan ekonomi. Dalam tatanan ini institusi tidak menekankan pada sektor ekonomi, tapi pada sektor negara (politik). Model ini juga tidak menjamin demokrasi berjalan dengan baik. Kegagalan demokrasi di sejumlah negara dalam banyak hal berhubungan dengan tingkat kemiskinan warga negaranya.
  3. Paradigma ini ialah, membangun masyarakat Madani sebagai basis utama pembangunan demokrasi. Pada tataran ini, dimaksudkan jika pada tahap pertama dan kedua tidak berjalan dengan lancar. Penjelasannya adalah menekankan pada proses pendidikan dan penyadaran politik warga negara, khususnya kalangan kelas menengah.hal itu disebabkan karena demokrasi membutuhkan topangan struktural dan kultural. Hal itu semua adalah bentuk upaya membangun budaya demokrasi di kalangan warga negara dan dianggap proses penyadaran ideologis warga negara. Melalui proses pendidikan politik, diharapkan lahir tatanan masyarakat yang secara ekonomi dan politik mandiri. Kemandirian mereka pada akhirnya akan melahirkan kelompok masyarakat madani yang mampu melakukan kontrol terhadap hegemoni negara.[19]
Tentang masyarakat Madani di Indonesia menurut Rahardjo, mereka adalah lembaga-lembaga yang bersifat represif. Mereka juga mesih banyak melakukan protes dari pada memberikan solusi.[20] Sedangkan menurut AS Hikam, karakter masyarakat Madani di Indonesia masih sangat bergantung pada aspek negara, sehingga selalau berada pada posisi subordinat, khususnya bagi meraka yang berada pada kelas menengah kebawah. Karena itu proses demokratisasi adalah sebuah tantangan mendesak bagi Indonesia.[21]
Mahasiswa adalah komponen penting di Indonesia. Meraka juga termasuk wujud dari masyarakat Madani di Indonesia, mengingat peran penting mereka dalam setiap perubahan siste politik, mengkritisi kebijakan pemerintah dan memiliki sifat idealisme yang tinggi (pro rakyat). Sikap demokratisasi bisa ditunjukkan mahasiswa dengan cara-cara dialogis, santun, dan bermartabat dan sangat menjunjung tinggi sikap toleransi. Sikap toleransi juga dapat ditunjukkan diantaranya dengan sikap menghargai perbedaan pandangan, keyakinan dan tradisi orang lain dengan kesadaran tinggi bahwa perbedaan adalah rahmat tuhan yang harus disyukuri, dipelihara dan ”dirayakan” dalam kehidupan sehari-hari.[22]  
Penulis melihat begitu banyaknya keberagaman yang ada di Indonesia. Kemajemukan, heterogenitas dan keberagaman sudah menjadi ciri-ciri di Indonesia. Sehinggap mampu menciptakan identitas politik yang khas (memberikan kekhasan). Multikulturalisme mampu memberikan warna tersendiri dalam setiap aktifitas berpolitik dan bernegara. Identitas politik dan multikultur menjadi tema tentang pembahasan makalah ini. Identitas adalah ungkapan nilai-nilai budaya suatu bangsa dan bersifat khas serta memiliki sifat membedakan dengan bangsa lain.[23] sedangkan Politik diartikan sebagai sebuah seni yang terkait dengan motif dan bentuk politik (cara mempengaruhi), apa yang harus negara lakukan. Politik adalah persoalan siapa mendapatkan apa, kapan dan dengan cara bagaimana (Harodl D Lasswell). Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk masyarakat secara keseluruhan (Joyce Mitchell).[24] Dan keterkaitannya adalah bahwa politik dengan sifat mempengaruhi dengan tujuan tertentu, dapat dilakukan dengan melihat kondisi kultur (disesuaikan denga budaya) sehingga menimbulkan sifak kekhasan dan sifat membedakan disetiap negara.
Unsur-unsur pembentuk identitas politik (identitas nasional Indonesia), sejarah, sejarah Indonesia tak terlepas dari sejara terbentuknya Indonesia dari sistem Kerajaan, masa penjajahan, masa kemerdekaan, masa pemberintahan, dan masa reformasi hingga sekarang. Unsur kebudayaan, meliputi 3 unsur yaitu budi, peradaban, dan penegtahuan. Ketiganya itu tercermin pada ideologi negara yaitu pancasila. Berikutnya adalah unsur suku bangsa, unsur agama yang beragam dan unsur bahasa.[25] 
Pancasila adalah capaian demokrasi paling penting yang dihasilkan oleh para pendiri bangsa  Indonesia. Pancasila sebagai konsensus nesional bangsa Indonesia yang majemuk.pancasila merupakan bingkai kemajemukan Indonesia, pancasila merupakan simbol persatuan dan kesatuan Indonesia yang mana pertemuan nilai-nilai dan pandangan ideologi yang bertemu pada satu titik menjadi landasan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila juga memiliki sifat yang dinamis, merupakan satu kesatuan yang didalamnyamemiliki unsur nilai keindonesiaan yang majemuk dan nilai-nilai yag bersifat universal. Semangat ketuhanan, semangat kemanusiaan, keadilan, dan keadaban, semangat keadilan sosial, semangat persatuan, dan semangat gotong-royong. [26]
Multikulturalisme (kemajemukan budaya dan agama) telah memberikan identitas tersendiri dalam bidang politik (landasan bernegara dan kebersamaan). Terlihat pada ciri-ciri bidang politik pada era globalisasi di Indonesia:
  1. Menjadi sistem politik Indonesia yang berintikan kebebasan mengemukakan pendapat.
  2. Politik Luar negeri yang bebas dan aktif.
  3. Melaksanakan sistem pemerintahan yang baik dengan prinsip partisispasi, transparansi, rule of law, responsif serta efektif dan efisien.
Multikulturalisme memberi penegasan seseorang atau kelompok bahwa dengan segala perbedaan diakui dan sama didalam ruang publik, menjadi sebuah repon terhadap kebijakan baru terhadap keberagaman. Dengan adanya komunitas yang berbeda saja tidak cukup, komunitas ini diperlakukan sama oleh negara dan warga negara. Konsep multikulturalisme sangat menjunjung tinggi perbedaan bahkan menjaganya agar tetap hidup dan berkembang secara dinamis. Berbeda dengan konsep kemajemukan, kemajemukan menekankan pada suku atau etnisitas yang dapat membangkitkan sikep etnosentrisme dan primordial. Konfilkpun rentan terjadi pada masyarakat yang menggunakan konsep kemajemukan.
Multikulturalisme di Indonesia penulis tekankan pada ideologi negara (pancasila) yang sudah menjadi common platform (landasan kebersamaan). Ada lima hal penting jika melihat hubungan multikultur dan Pancasila yaitu:
  1. Multikultur adalah pandangan kebudayaan yang berorientasi pada wujud ide menjadi tindakan. Jika dikaitkan dengan pancasila, pancasila dipandang sebagai cita-cita Indonesia. Multikultur dianggap sebagai penerjemah pancasila dalam konteks yang lebih konkret, pancasila harus diberi energi praktis multikutur.
  2. Multikultur harus menjadi grand strategy kemasa depan. Untuk itu dibutuhkan pemikiran yang komprehensif, konsisten dan berjangka panjang yang melibatkan semua pihak..
  3. Budaya tak lagi dijadikan sebagi simbio atau embel-embel saja, melainkan digunakan sebagai prioritas utama untuk membangun bangsa, karena integrasi bangsa bertumpu pada persoalan kebudayaan.
  4. Pancasila kurang operasional dalam menjelaskan batas-batas budaya. Akan tetapi jika memposisikan pancasila sebagai cita-cita, maka persoalan metodologis tersebut tidak akan mempersulit posisi pancasila.
  5. Pluralisme dan multikultur dapat dijalankan jika terdapat dua syarat. Memiliki pemahaman terhadap konsep multikultur yang sesuai dengan Indonesia. Kebijakan yang mendukung harus berjangka panjang, konsisten, dan membutuhkan kondisi politik yang mendukung.[27]   
Hubungan agama dan negara memiliki tiga pendekatan, dimana tiga pendektan itu dapat diterapkan dalam masyarakat Indonesia. Pendekatan Integralistik, yaitu agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Dalam pendekatan ini misalnya negara islam (sistem khilafah). Pendekatan Simbiotik, yaitu hubungan agama dan negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiotik mutualisme), dalam pendekatan ini misalnya negara Indonesia. Pendekatan Sekuleristik, yaitu hubungan agama dan negara berada diposisi terpisah, adanya anggapan agama dan negara memiliki wilayah yang harus diselesaikan secara masing-masing. Misalnya dalam pendekatan ini adalah negara Perancis.
Di Indonesia menggunakan pendekatan simbiotik, maksudnya lebih menganut pada asas keseimbangan yang dinamis, jalan tengah antara sekulerisme dan teokrasi. Keseimbangan yang dinamis tidak adanya pemisahan agama dan negara, namun masing-masing dapat saling mengisi dengan segala peranannya. Agama tetap berada pada daya kritis terhadap negara dan negara memiliki kewajiban-kewajiban terhadap agama. Dengan kata laindi Indonesia menggunakan hubungan simbiotik mutualisme.
Konsep NKRI dan Pancasila adalah hasi ijtihad inklusif kelompok islam dalam era pembentukan negara Indonesia. Kewajiban umat islam, sebagaiman kelompok lainnya, adalah menjaga dan melestarikan kesepakatan para pendiri bangsa (founding fathers) tersebut. Komitmen ini harus dilakukan dalam tatanan Indonesia yang plural dalam bingkai NKRI.
Penulis akan memberikan beberapa ulasan mengenai hukum yang adil berdasarkan islam dan konsep politik dalam bingkai politik, yang semua itu mampu diterapkan dalam kondisi Indonesia yang plural dan Indonesia yang dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan antara agama dan negara di Indonesia:
  1. Adil dan Amanah, tipe ideal pemimpin muslim. Disini dijelskan adalah dimana seorang pemimpin harus memiliki sikap adil dan amanah. Sesuai pada surat An-Nisa ayat 58,
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
Dalam ayat tersebut menjelaskan dua prinsip kepemimpinan dan pemerintahan yang sangat penting. Menurut Ibn Taimiyyah dua prinsip tersebut merupakan jima’ as-siyasah al-adilah wa al-wilayah as-shalihah. Prinsip pertama, menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Kesadarn bahwa jabatan menurut islam adalah sebuah amanat. Jabtan menuntut tanggung jawab yang tidak ringan, jabatan ini adalah amanat yang harus diwaspadai, bukan sebagai suatu nikmat yang disyukuri, dan itu harus dimaknai secara positif dalam kehidupan seorang pemimpin.[28] Pemaknaan diatas memilki tujuan, bahwa setelah seorang pemimpin turun dari jabatan mengalami post power syndrome (shock akibat kehilangan jabatan) atau Qiyyamah Shughra (kiamat kecil), karena mereka memaknai jabatan bukan sebagai amanat yang harus dipertanggung jawabkan melainkan dimaknai sebagai sebuah kenikmatan. Selain itu pemimpin harus memaknai bahwa kesuksesan dalam memangku jabatan ini tak terlepas dari peran serta bawahan orang-orang kecil, kaum dhu’afa, dan masyarakat di negara yang berdaulat. Itu harus dimaknai sebagi kewajiban mutlak dan tak dapat ditawar lagi.[29] Dan prinsip yang kedua adalah penegakan keadilan diantara manusia. Penegakkan keadilan disini dimaksudkan keharusan merumuskan Undang-Undang yang adil dan menerapkannya secar adil, serta adil yang kaitannya dengan jabatan sebagai ”amanat”. Sebagai mana pengertian adil, yaitu menerepkan sesuatu pada tempatnya (wadh’u asy-sya’i fi maudhi’ih). Keadilan dalam merekrut atau memilih pemimpin  dengan menerapkan prinsip the right man on the right place, memilih orang yang paling cakap dan yang paling layak. Tak ada unsur-unsur Kolusi dan Nepotisme, karena itu wujud dari penghianatan kepada Allah dan Rasul. Dalam Hadist Rasullallah SAW, pernah mengatakan bahwa jika diabaikannya prinsip the right man on the right place, maka hancurlah suatu komunitas atau bangsa itu. Keadilan dalam pengertiannya yang komprehensif merupakan prasyarat mutlak bagi kejayaan suatu negara.[30]
  1. Keadilan menurut islam, keadilan ini merupakan syarat mutlak dalam setiap negara. ”Negara yang adil akan lestari, walaupu itu negara kafir. Sebaiknya negara yang lalim akan hancur, kendati itu negara islam”.[31] Jika tak ada keadilan, mustahil kemakmuran sebagai cita-cita bersama tidak dapat terwujud. Ada tiga prinsip keadilan menurut Abd al-Wahhab Khallaf sebagai tegaknya setiap pemerintahan yang adil:
1)      Prinsip permusyawaratan (asy-syura)
2)      Prinsip pertanggung jawaban pemimpin pemerintahan (mas’uliyyah uli al-amr)
3)      Prinsip diperbolehnya kekuasaan tertinggi pemerintahan melalui bai’at umum rakyat (istimdad arriyasah al-ulya min al-bai’ah al-’ammah)
Ketiga prinsip diatas pada hakikatnya, menegaskan bahwa urusan rakyat berada sepeneuhnya ditangan rakyat, sesuai dengan tujuan kemaslahatan yang mereka kehendaki. Suatu hikmat kebijaksanaan Allah bahwa, ketiga prinsip diatas tidak dijabarkan dengan rinci, karena rincian tentang hal itu dapat berbeda-beda, sesuai dengan situasi dan kondisiyang ada pada setiap zaman. Dimungkinkan bagi umat Muhammad untuk merancang dan merumuskan sendiri bentuk-bentuk pelembagaan pemerintahannya yang berdaulat.[32] Mengenai prinsip yang pertama tentang syura merupakan pertanda bahwa suatu pemerintahan mewadahi aspirasi segenap rakyatnya. Demokrasi yang baik menurut islam adalah demokrasi yang menerapkan prinsip syura dalam mekanisme politiknya. Syura merupakan hak rakyat yang wajib diakomodasi oleh setiap penguasa pemerintahan di masyarakat muslim. Oleh karena itu, sebagai fuqaha secara tegas berpendapat bahwa apabila penguasa meninggalkan prinsip syura, ia wajib dimakzulkan (ditirunkan dari jabatannya). Prinsip kedua yaitu pertanggung jawaban pemimpin kepada rakyat, merupakan cerminan bahwa dalam Islam setiap pemimpin pemerintahan tidak boleh seenaknya bertindak selama memerintah. Karena sesungguhnya pemimpin pemerintahan tidak dianggap sebagai penguasa tetapi seorang yang mengabdi pada rakyatnya. Prinsip ini juga menandakan adanya hak pengawasan rakyat terhadap penguasa dan aparatnya. Prinsip ini bisa dianggap pula realisasi ajaran Islam yaitu al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahy ’an al-munkar. Dalam salah satu hadits dinyatakan bahwa:
”sesungguhnya manusia jika melihat seorang yang  zalim lalu mereka tidak berusaha mencegahnya, maka akan datang waktunya Allah meratakan hukum-Nya kepada mereka.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasai, dari Abu Bakar ash-Shiddiq).[33] Karena adanya kewajiban bagi pemimpin pemerintahan untuk bertanggungjwab pada rakyatnya, maka dibutuhkan suatu lembaga untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Prinsip ketiga yaitu kekuasaan pemimpin pemerintah diperoleh dari bai’at ’ammah, mengharuskan adanya ahl al-ikhtiyar yang benar representatif dalam mewakili rakyat dengan suatu sistem pemilihan kepala negara yang menjamin tersalurnya aspirasi rakyat secara optimal. Sistem tersebut disebut juga pemilihan langsung oleh rakyat seperti di Indonesia dengan syarat jujur, bersih, dan adil. Seperti apa yang dikatakan oleh Abd al-Karim Zaidan, ”jabatan kepala negara  ditetapkan berdasarkan bai’at rakyat kepada negara itu, bukan berdasarkan penunjukan dari kepala negara sebelumnya.”[34] kebebasan mengemukakan pendapat mutlak diperlukan bagi rakyat atau wakil-wakilnya dalam masalah-masalah kenegaraan dan hal-hal yang menyangkut kebijaksanaan dan perilaku pemimpin pemerintahan beserta aparatnya. Kebebasan itu harus diberikan sepanjang dimanfaatkan dengan cara-cara yang bertanggungjawab dan tidak mengundang anarki (faudha), kerusakan (fasad), dan kerugian (idhrar) bagi kepentingan masyarakat banyak.
  1. Prinsip-prinsip keadilann tersebut pada dasarnya betujuan untuk menciptakan persatuan dan kesatuan suatu negara. Islam sangat mengutamakan kesatuan, sebagaimana konsep yang telah diutarakan di awal sebelumnya yaitu Islam rahmatan lil ’alamin yang berarti Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Rahmat adalah satu pemberian dari Allah secara langsung dan jika sesuatu yang disebut rahmat itu hanya boleh dinikmati oleh orang Islam maka hal itu menyalahi konsep di atas. Keadilan juga telah menjadi keharusan, hal itu menjadi konsekuensi logis ketika Allah telah menciptakan pluralitas. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
öqs9ur uä!$x© y7/u z`tBUy `tB Îû ÇÚöF{$# öNßg=à2 $·èŠÏHsd 4 |MRr'sùr& çn̍õ3è? }¨$¨Z9$# 4Ó®Lym (#qçRqä3tƒ šúüÏZÏB÷sãB ÇÒÒÈ  
”Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus, 10: 99)
Jadi, pluralitas merupakan sunnatullah, maka pemaksaan terhadap pemeluk agama sangat tidak dianjurkan. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 256 juga tercantum: laa ikraha fi ad-diin... tidak ada pemaksaan untuk (masuk) agama (Islam). Adanya pluralitas dalam suatu bangsa tidak cukup hanya diakui dan diterima sebagai suatu kenyataan. Kemajemukan itu juga harus diterima dengan sikap tulus dan persepsi bahwa hal itu bisa dikelola untuk memperkaya budaya bangsa melalui interaksi yang dinamis dan tidak diskriminatif.[35] Disamping anjuran untuk toleransi, Islam juga menganjurkan tentang kerjasama, meskipun berbeda agama, dalam hal apapun kecuali dalam hal aqidah dan ’ibadah. Karena kerja sama dalam hal tersebut bukan mengakibatkan sebah toleransi melainkan sebuah intervensi terhadap agama lain. Padahal dalam surat Al-Kafirun ayat 6 telah dijelaskan:
ö/ä3s9 ö/ä3ãYƒÏŠ uÍ<ur ÈûïÏŠ ÇÏÈ  
”Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
Maka keadilan sangat diperlukan untuk mewujudkan kerukunan antar manusia teurutama bagi orang-orang yang beragama. Dan dari itu juga Indonesia memunculkan trilogi kerukunan yang mencakup (a) kerukunan intrn umat beragama, (b) kerukunan antar umat berbeda agama, (c) kerukunan antar umat beragama dan pemerintah. Atau dalam bahasa umat Islam salaf yang populer di kalangan pesantren juga terdapat konsep yang serupa, yaitu konsep tentang persaudaraan (ukhuwwah) yang juga mencakup: (1) ukhuwwah diniyyah atau persaudaraan intrn umat beragama, (2) ukhuwwah wathaniyyah atau persaudaraan antar sesama anak bangsa, (3) ukhhuwwah insaniyyah/basyariyyah atau persaudaraan antar manusia.[36] Dengan jalan tersebut sehingga sesama manusia akan merasa bersaudara, merasa memiliki satu jiwa dan kehendak, dan merasa memiliki satu kesatuan yang harus saling melengkapi, terutama dalam satu negara sehingga keadilan dan kerukunan akan terjalin.

D.     Analisis
Penulis memberikan analisis dengan menggunakan pendekatan pluralisme. Indonesia masuk dalam jenis Pluralisme Primordial. Pluralisme Primordial adalah Kaitan-kaitan primordial adalah loyalitas kultural dan emosional yang kuat terhadap ras, kelompok bahasa, agama atau afiliasi etnis. Istilah pluralis pada mulanya mengacu kepada masalah masyarakat-masyarakat yang plural, yaitu masyarakat yang penduduknya tidak homogen tetapi terbagi dalam kelompok-kelompok suku, etnis, rasial, dan agama, dimana yang cukup sering terjadi, beberapa perbedaan tersebut cenderung meningkatkan konflik, bukan ke arah kerja sama yang baik. Seperti dikemukakan Rupert Emerson: “Inti dari masalah itu dalam sebuah masyarakat yang majemuk adalah bahwa bukanlah satu rakyat yang menentukan dirinya tetapi dua atau lebih, dan janganlah diabaikan bahwa Piagam PBB berbicara dalam nafas yang sama mengenai hak menentukan diri sendiri dan hak-hak yang sama dari rakyat-rakyat. Jika mereka sungguh-sungguh sama maka penjajahan oleh yang satu terhadap yang lain dilenyapkan secara nyata.”[37]
Dari pendekatan yang dikemukakan oleh Rupert Emerson, terlihat masyarakat Indonesia yang majemuk boleh memilki sifar rasial terhadap sukunya masing-masing, tapi dalam konteks Indonesia atau negara kita harus menggunakan sikap multikultur yang mengedepankan sikap perbedaan, karena negara tak ditentukan oleh satu rakyat tai ditentukan oleh dua atau lebih. Identitas nasional Indonesia (identitas politik dan bernegara) yang inklusif dan toleran dengan tetap mengakar pada indentitasnya yang majemuk yang trecermin pada dasar Pancasila.
Dan pemikiran Soekarno tentang agama dan negara. Menurutnya, demokrasi akan hidup jika tidak dicampur adukkan dengan agama, dan sebaliknya ada kerugian (demokrasi tidak hidup) jika kedua dicampur adukkan. Karena itu bagi Soekarno hanya ada dua mengenai hubungan agama dan negara : perasatuan agama dan negara, tapi tanpa demokrasi atau demokrasi tapi negara dipisahkan dari agama.[38] Maksudnya adalah, Soekarno menerima bahkan dipisahkannnya agama dan negara, namun yang dimaksudkannya sebagai pemisahan itu adalah secara formal agama tidaklah merupakan bagian dari negara, atau secara formal dicantumkan dalam undang-undangnya bahwa negara adalah negara islam. Tetapi ia memiliki konsep persatuan agama dan negara tersendiri, dengan cara cita-cita negara dapat bersatu dengan agama meskipun asas konstitusinya memisahkan diri dari agama. Maksudnya adalah negara dipisahkan dari agama, tapi semangat dari para perwakilan dan para badan hukum memilki semangat islam dan berasal dari utusan islam. Dan itu dapat dikatakan islam dapat hidup, subur, islam yang dinamis, dan bukan islam yang melempem yang hanya bisa berada bilamana ada asuhan dan perlindungan dari negara saja.
Konsep demokrasi modern sama dengan konsep nasionalisme Soekarno. Tetapi disini terdapat kontradiksi. Bila badan perwakilannya itu semuanya umat islam tapi dan hukum-hukumnya berlaku berjiwa islam tapi konsep negaranya memisahkan diri dari islam. Hal itulah yang menyebabkan kontradiksi pemikiran islam dan agama Soekarno. Bila agama bersatu dengan negara maka demokrasi tidak akan berlaku, sebaliknya bila demokrasi berlaku maka agama dan negara harus dipisahkan, sementara itu ia juga mengakui bahwa agama islam mengajarkan demokrasi kepada umatnya. [39] 
Soekarno mengatakan, umat islam harus menggali api islam, tetapi realitasnya hanya dapat mewarisi “abu” dan “arang” yang mati dan statis dari warisan kultural mereka. Bung Karno juga mengatakan, umat islam seharusnya mengedepankan spirit islam yang ada didalamnya (ajarannya), dan tidak sibuk memperjuangkan aspek lahiriah dan formal dari ajaran agama yang justru dapat membatasi wilayah pengaruhnya. Karena masyarakat adalah berang yang dinamais, bergerak, tak dapat mati, tak diam, tak tetap, bergerak maju, berevolusi. Seruannya selalu untuk bersama-sama menggali api islam, islam sebagai api bukan sebagi abu atau arang. Pemikiran Bung Karno terletak pada kritik kaum muslim selalu menganggap seolah-olah fikih adalah satu-satunya tiang agama. Padahal fikih merupakan hasil ijtihad sesorang para ulama masa lalu. Yang seharusnya sikap yang diambil adalah sikap pasrah dan tunduk secar total kepada Allah SWT. Soekarno juga mengatakan kritiknya tentang konsep negara islam didasarkan pada kenyataan bahwa negara dengan penduduk mayoritas islam, tak mampu  membentuk negara islam.[40]

E.      Kesimpulan
Sekali lagi penulis ingin menegaskan bahwa Islam tidak harus dilegalkan menjadi bentuk negara atau menjadi sebuah sistem kenegaraan. Islam lebih mempunyai makna jika dijadikan sebagai sebuah nilai sosial, dan itu yang sebenarnya akan menjadi proses dimana suatu negara akan menjadi “Islam” yang beran-benar menerima rahmat bagi seluruh umat. Keinginan untuk mewujudkan kembali bentuk negara sebagaimana dalam kepemimpinan rasul bukan berarti menjadikan negara berlebel Islam (dalam arti agama), karena rasul sendiri tidak pernah menurunkan konsep tunggal tentang sistem kenegaraan yang diambil dari agama yang dibawanya yaitu Islam, rasul hanyalah mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam Islam, bahkan rasul sendiri telah mengajarkan tentang toleransi dan tidak adanya paksaan dalam beragama atau berkeyakinan.
Toleransi inilah yang kemudian menjadi dasar sehingga mampu memberi nilai moral yang dapat merangkul setian umat dari berbagai golongan. Toleransi tidak lebih bertujuan untuk menciptakan suatu keadilan, dan dengan itu maka suatu masyarakat madani – meskipun tidak sama dengan masyarakat yang dikembangkan oleh rasul sewaktu beliau menjadi pemimpin negara – akan tercapai dengan sendirinya. Memang dalam mewujudkan masyarakat yang sedemikian rupa diperlukan pemimpin yang mempunyai kriteria yang, paling tidak, mendekati rasul, mempunyai sifat-sifat seperti rasul.
Hikmah telah mengajarkan, bagaimana telah tercatat dalam sejarah tentang beberapa pemimpin yang telah bersekongkol dengan aliansi asing. Mereka membenarkan keberadaanya dengan menakut-nakuti aliansi asing itu akan kehadiran Islam fanatik, yang bermaksud memaksakan pihak lain menjalani gaya hidup yang mereka tolak. Kesalahpahaman tentang pemikiran politik Islam kontemporer terletak pada asumsi bahwa negara yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam tidak lain adalah negara yang memaksakan untuk hidup sesuai dengan Islam.[41]
Alasan yang tepat kenapa Islam sampai masuk dalam wilayah politik adalah untuk menciptakan perdamaian. Kebebasan menjadi langkah utama jalan menuju cita-cita tersebut. Kebebasan bukan berarti tanpa aturan, namun seperti dalam Islam sendiri bahwa kebebasan dibenarkan asas dasar mempertahankan umat Islam untuk hidup sesuai dengan Islam yang mereka yakini tanpa memaksakan kehendak yang dapat meruntuhkan dari komitmen terhadap Islam sendiri. Hal itu dapat ditarik kembali akan adanya toleransi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat sehingga mampu mewujudkan masyarakat bernegara yang adil dan sejahtera.

F.      DAFTAR PUSTAKA
AF, Ahmad Gaus. NURCHOLIS MADJID: Jalan Hidup Seorang Visioner. Jakarta: Kompas. 2010.
An-Nawawi. Riyadh ash-Shalihin. Beirut: Dar al-Fikr. 1989.
Apter, David E. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: LP3ES. 1988.
Azra, Azyumardi. PendidikanKewarganegaraan (Civic Education), DEMOKRASI, HAM, DAN MASYARAKAT MADANI. Jakarta:ICCE. 2008
El-Affendi, Abdelwahab. Masyarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam. Yogyakarta: LKIS. 2012.
Firdaus, Syam. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2007.
Madaniy, Malik. Politik Berpayung Fiqh. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2010.
Madkour, Ibrahim. Filsafat Islam Metode dan Penerapan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1993.
.Masdar, Umaruddin. Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik. Yogyakarta: LKIS.1999.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press. 1990.
Yatim, Badri. Soekarno, Islam, dan Nasionalisme. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999.
Zaidan, Abd al-Karim. Al-Fard wa ad-Daulah fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah. Gary Ind: IIFSO. 1970.



[1] Mahasiswi jurusan Prodi Filsafat Politik Islam fakultas Ushuluddin IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA Semester IV
[2] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: LP3ES, 1988),   hal 295
[3] Ahmad, Gaud AF. NURCHOLIS MADJID: Jalan Hidup Seorang Visioner. (Jakarta, Kompas, 2010), Hal: 258-259
[4] Ibid,hal: 261-262
[5] Ibid, Hal: 265-266
[6] Ibid, hal: 263-264
[7] Firdaus, Syam. Pemikiran Politik Barat. (Jakarta: PT. Bumi Aksara,  2007), Hal : 63 - 64
[8] Ibid, Hal : 64
[9] Munawir, Sjadzali. Islam dan Tata Negara. (Jakarta : UI Press, 1990), Hal :57
[10] Ibid, hal : 57
[11] Ibid, hal : 52
[12] Ibid, Hal : 52
[13] Ibid, hal: 57
[14] Ibrahim. Madkour. Filsafat Islam Metode dan Penerapan. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993) Hal : 90
[15]Firdaus, Syam. Pemikiran Politik... Hal : 66
[16] Ubaedillah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Edication). (Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008) hal: 180
[17] Ibid, hal: 185
[18] Azyumardi, Azra.PendidikanKewarganegaraan(Civic Education), DEMOKRASI, HAM, DAN MASYARAKAT MADANI. (Jakarta,ICCE 2008) hal: 187
[19] Ibid, hal 188
[20] Ibid, hal: 189
[21] Ibid, hal : 189
[22] Ibid, hal: 190
[23] Ibid, hal: 18
[24] Umaruddin, Masdar. Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik. (Yogyakarta, LKIS., 1999) Hal : 5-7
[25]Azyumardi, Azra.PendidikanKewarganegaraan(Civic Education),...hal: 20
[26] Ibid,: 22
[27] Ibid, hal: 30-31
[28] Malik, Madaniy. Politik Berpayung Fiqh. (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010), hal: 6-9
[29] Ibid, hal: 11
[30] Ibid, hal: 12-13
[31] Abd al-Karim Zaidan. Al-Fard wa ad-Daulah fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah. (Gary Ind: IIFSO, 1970), Hal:62
[32] Malik, Madaniy. Politik Berpayung..., hal: 35-36
[33] An-Nawawi, Riyadh ash-Shalihin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989) hal: 71.
[34] Abd al-Karim Zaidan, Al-Fard..., hal: 35.
[35] Malik Madaniy, ibid., hal: 133.
[36] Ibid., hal: 136.
[37]David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: LP3ES, 1988),   hal 295.
[38] Umaruddin, Masdar. Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik. (Yogyakarta, LKIS., 1999) Hal : 61Ibid, Hal:453
[39] Badri, Yatim. Soekarno, Islam, dan Nasionalisme.(Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999). Hal: 144-145
[40] Ahmad, Gaud AF. NURCHOLIS MADJID........Hal: 324-330
[41] Abdelwahab, El-Affendi. Masyarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam. (Yogyakarta, LKIS, 2012)Hal: 129

Tidak ada komentar:

Posting Komentar