Minggu, 01 Juli 2012

GERAKAN POLITIK DUNIA ISLAM DALAM PERSPEKTIF KHAWARIJ


A.    Ajaran dan Geneologi Serta Akar Pemikiran
1)      Sejarah
Peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan di Madinah pada tahun 656, merupakan titik awal yang tepat untuk studi pemikiran islam dan khusunya studi Khawarij. Khawarij, bersama dengan kelompok revolusioner, mengklaim kontinuitas tanggun jawab pembunuhan itu, meskipun hakikatnya atau niali penting kontinuitas itu tidak jelas.[1]
Setelah Ustman meninggal, kaum muslimin Madinna menunuk Ali sebagai Khalifah, tetapi tidak seluruhnya mengakui dia. Ali menunjukkan simpati terhadap para pemberontak atau para pembunuh, begitu mereka sering disebut dan tidak mengambil langkah untuk menghukum orang-orang yang bertanggung jawab atas pertumpahan darah itu. Abdullah ibnu Umar dan orang yang sepaham tidak mau mengakui Ali dan meninggalkan Madinah, disisi lain gubernur yang diangkat di Syiria oleh Utsman sekaligus juga kerabatnya, yakni Mu’awiyah, tidak mau mengakui Ali dan tetap mempertahankan kekuasaannya.[2] Mu’awiyah mengklaim sebagai pengganti Utsman disaat Ali gagal menghukum orang-orang yang melakukan pembunuhan terhadap Utsman.
Kelompok ketiga dipimpin oleh janda Nabi Muhammad yaitu Siti Aisyah dan bersama dua orang Makkah yang kaya, Thalhah dan Zubair. Mereka melakukan pemberontakan terbuka selama beberapa bulan dalam perang yang disebut “Perang Jamal” dekat Basrah pada bulan desember 656. Kelompok ini mengklaim hendak menegakkan penerapan hukuman terhadap orang-orang yang melakukan kesalahan secara adil, tapi mereka tidak memiliki posisi keagamaan yang jelas dan mungkin lebih dipengaruhi kepentingan pribadi.[3] Ada tiga kelompok yang berkonflik: pertama, pengikut Ali. Kedua, orang-orang yang menolak Ali. Dan yang ketiga, kelompok Siti Aisyah.
Perang jamal pun berakhir dengan terbunuhnya Thalhah dan Zubair. Ali dengan laluasa melakukan serangan terhadap Mu’awiyah. Kedua pasukan ini mulai berhadapan sejak bulan juni hingga juli 657 di Siffin.[4] Pertempuran kecil tersebut diselingi genjatan senjata dan diperkirakan mengalami kerugian yang besar.
Setalah melakukan perundingan selama satu malam, kedua belah pihak tersebut menyepakati perdamaian. Pasukan Mu’awiyah keluar menemui musuh dengan mengacungkan beberapa mushaf Al-Qur’an yang diikatkan pada lembing mereka. Tujuannya untuk menghentikan pertempuran berdasarkan Al-Qur’an dan para ulama’ yang ada di kelompok Ali memaksa Ali menerima tahkim, dan yang pasti para prajurit menarik diri dan tahkim pun terjadi.
Ali mengetahui betul kelicikan Mu’awiyah dan Amr bin Al-Ash, orang yang mempunyai gagsan tentang tersebut. Namun Ali tetap mengikuti sebagian pengikutnya yang menerima ajakan itu meskipun sebagian lagi mengingkinkan Ali agar tidak menerima ajakan tahkim. Proses tersebut dilaksanakan dengan cara mendatangkan satu orang dari setiap golongan untuk melakukan perundingan. Amr bin Al-Ash dari golongan Mu’awiyah yang dikenal yang licik dan Abu Musa Al-Asy’ari dari golongan Ali yang dikenal yang bertaqwa. Mereka melakukan perundingan untuk menghentikan peperangan dan melakukan perdamaian dengan menurunkan keduan pemimpin golongan, yaitu Ali dan Mu’awiyah. Abu Musa menyetujui persyaratan itu. Ia adalah orang pertama yang diminta untuk mengumandangkan hasil perjanjian tersebut lalu kemudian Amr bin Al-Ash, namun apa yang dikumandangkan oleh Amr bin Al-Ash ternyata berbeda dengan Abu Musa, ia mengatakan bahwa ia menolak untuk menurunkan kedua pemimpin tersebut, Ali dan Mu’awiyah. Ia mengatakan bahwa ia hanya menyetujui penurunan Ali, bukan Mu’awiyah, sehingga para pengikut Ali merasa kecewa dan terpecah menjadi dua golongan, Syi’ah dan Khawarij.[5]
Di tempat terjadinya proses tahkim ini (desa Harura, suatu desa yang terletak di dekat kota kuffah, iran) sekitar dua belas ribu orang yang keluar dari barisan Ali (Khawarij) memilih Abdullah Ibn Wahb Al-Rasidi menjadi imam mereka sebagai pengganti dari Ali. Dalam pertempuran dengan kekuatan Ali mereka mengalami kekalahan besar, tetapi akhirnya seorang Khawarij bernama Abd Al-Rahman Ibn Muljam berhasil membunuh Ali.[6]
2)      Tokoh-tokoh
Kaum Khawarij dibawah pimpinan Abdullah Ibn Wahb Al-Rasidi melakukan perlawanan terhadap Ali dan juga Mu’awiyah. Bagi mereka, Ali dan Mu’awiyah telah masuk dalam kategori keluar dari Islam, karena mereka telah berhukum selain hukum Allah. Dasar teologis inilah yang kemudian dipegang oleh kaum Khawarij sehingga banyak persoalan yang muncul berkaitan dengan siapa yang masih dianggap orang Islam dan siapa yang telah keluar dari Islam. Ali dan Mu’awiyah dan semua orang yang menyetujui tahkim, termasuk Abu Musa dan Amr bin Al-Ash, bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar.[7]
Doktrin kafir itu selanjutnya dikembangkan oleh Nafi’ Ibn Al-Azraq menjadi musyrik atau polytheist, dan di dalam Islam syirik atau polytheisme merupakan dosa yang terbesar, lebih besar dari kafir. Orang yang masuk dalam kategori ini adalah orang-orang yang tidak sepaham dengan Nafi’ dan pengikutnya (Al-Azraq), bahkan orang-orang yang sepaham tapi tidak mau berhijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik. Barang siapa yang datang ke dalam lingkungan mereka harus mengaku mengikuti Al-Azraq dan harus berani membunuh tawanan yang diberikan olah Al-Azraq, jika tawanan itu tidak dibunuh maka kepalanya sendiri yang akan dipenggal.[8]
Para pengikut Al-Azraq pada akhirnya mengalami perpecahan disebabkan karena pahamnya yang sangat keras. Najdah Ibn Amir, orang yang sebelumnya ingin mengikuti jejak Al-Azraq, bersama dengan Abu Fudaik, Rasyid Al-Tawil, dan Atifah Al-Hanafi, tidak mau mengikuti paham Al-Azraq yang mengatakan bahwa orang yang tidak mau mengikuti hijrah adalah hijrah. Mereka sebaliknya mengatakan bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal di neraka hanyalah orang Islam yang tidak sepaham dengan golongannya, Najdah Dkk.[9]
Dalam perkembangannya, Najdah beserta pengikutnya ternyata terpecah karena harta rampasan perang tidak dibagi secara merata, dan sikap lunak yang diambil Najdah terhadap khalifah Abd Malik Ibn Marwan dari dinasti bani Umayyah. Dalam serangan terhadap kota Madinah mereka dapat menawan seorang anak perempuan yang diminta kembali oleh khalifah Abd Malik namun tidak disetujui oleh pengikut Najdah karena Abd Malik adalah musuh mereka. Dalah perpecahan ini Abu Fudaik, Rasyid Al-Tawil, dan Atiah Al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah.[10] Menurut Al-Syahrastani, salah satu teman dari Atifah Al-Hanafi, yaitu Abd Karim Ibn Ajrad, memikiri paham yang lebih lunak.


[1] Waat, W. Montgomery, Studi Islam Klasik: Wacana Kritik Sejarah. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hal: 09
[2] Ibid., hal: 12-13.
[3] Ibid., hal: 13.
[4] Siffin adalah daerah dekat Rakqqa di hulu sungai Eufrat. Sehingga perang tersebut disebut Perang Siffin.
[5] Baca Harun Nasution. Teologi Islam. (Jakarta: UI Press, 1986) hal: 05.
[6] Ibid., hal: 11.
[7] Ibid.,
[8] Ibid., hal: 15.
[9] Ibid., hal: 17.
[10]Ibid., hal: 18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar