A. Ajaran
dan Geneologi Serta Akar Pemikiran
1) Sejarah
Peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman
bin Affan di Madinah pada tahun 656, merupakan titik awal yang tepat untuk
studi pemikiran islam dan khusunya studi Khawarij. Khawarij, bersama dengan
kelompok revolusioner, mengklaim kontinuitas tanggun jawab pembunuhan itu,
meskipun hakikatnya atau niali penting kontinuitas itu tidak jelas.[1]
Setelah Ustman meninggal, kaum muslimin
Madinna menunuk Ali sebagai Khalifah, tetapi tidak seluruhnya mengakui dia. Ali
menunjukkan simpati terhadap para pemberontak atau para pembunuh, begitu mereka
sering disebut dan tidak mengambil langkah untuk menghukum orang-orang yang
bertanggung jawab atas pertumpahan darah itu. Abdullah ibnu Umar dan orang yang
sepaham tidak mau mengakui Ali dan meninggalkan Madinah, disisi lain gubernur
yang diangkat di Syiria oleh Utsman sekaligus juga kerabatnya, yakni Mu’awiyah,
tidak mau mengakui Ali dan tetap mempertahankan kekuasaannya.[2]
Mu’awiyah mengklaim sebagai pengganti Utsman disaat Ali gagal menghukum
orang-orang yang melakukan pembunuhan terhadap Utsman.
Kelompok ketiga dipimpin oleh janda Nabi
Muhammad yaitu Siti Aisyah dan bersama dua orang Makkah yang kaya, Thalhah dan
Zubair. Mereka melakukan pemberontakan terbuka selama beberapa bulan dalam
perang yang disebut “Perang Jamal” dekat Basrah pada bulan desember 656.
Kelompok ini mengklaim hendak menegakkan penerapan hukuman terhadap orang-orang
yang melakukan kesalahan secara adil, tapi mereka tidak memiliki posisi
keagamaan yang jelas dan mungkin lebih dipengaruhi kepentingan pribadi.[3]
Ada tiga kelompok yang berkonflik: pertama, pengikut Ali. Kedua, orang-orang
yang menolak Ali. Dan yang ketiga, kelompok Siti Aisyah.
Perang jamal pun berakhir dengan
terbunuhnya Thalhah dan Zubair. Ali dengan laluasa melakukan serangan terhadap
Mu’awiyah. Kedua pasukan ini mulai berhadapan sejak bulan juni hingga juli 657
di Siffin.[4]
Pertempuran kecil tersebut diselingi genjatan senjata dan diperkirakan
mengalami kerugian yang besar.
Setalah melakukan perundingan selama
satu malam, kedua belah pihak tersebut menyepakati perdamaian. Pasukan
Mu’awiyah keluar menemui musuh dengan mengacungkan beberapa mushaf Al-Qur’an
yang diikatkan pada lembing mereka. Tujuannya untuk menghentikan pertempuran
berdasarkan Al-Qur’an dan para ulama’ yang ada di kelompok Ali memaksa Ali
menerima tahkim, dan yang pasti para prajurit menarik diri dan tahkim pun
terjadi.
Ali mengetahui betul kelicikan Mu’awiyah
dan Amr bin Al-Ash, orang yang mempunyai gagsan tentang tersebut. Namun Ali
tetap mengikuti sebagian pengikutnya yang menerima ajakan itu meskipun sebagian
lagi mengingkinkan Ali agar tidak menerima ajakan tahkim. Proses tersebut
dilaksanakan dengan cara mendatangkan satu orang dari setiap golongan untuk
melakukan perundingan. Amr bin Al-Ash dari golongan Mu’awiyah yang dikenal yang
licik dan Abu Musa Al-Asy’ari dari golongan Ali yang dikenal yang bertaqwa.
Mereka melakukan perundingan untuk menghentikan peperangan dan melakukan
perdamaian dengan menurunkan keduan pemimpin golongan, yaitu Ali dan Mu’awiyah.
Abu Musa menyetujui persyaratan itu. Ia adalah orang pertama yang diminta untuk
mengumandangkan hasil perjanjian tersebut lalu kemudian Amr bin Al-Ash, namun
apa yang dikumandangkan oleh Amr bin Al-Ash ternyata berbeda dengan Abu Musa,
ia mengatakan bahwa ia menolak untuk menurunkan kedua pemimpin tersebut, Ali
dan Mu’awiyah. Ia mengatakan bahwa ia hanya menyetujui penurunan Ali, bukan
Mu’awiyah, sehingga para pengikut Ali merasa kecewa dan terpecah menjadi dua
golongan, Syi’ah dan Khawarij.[5]
Di tempat terjadinya proses tahkim ini
(desa Harura, suatu desa yang terletak di dekat kota kuffah, iran) sekitar dua
belas ribu orang yang keluar dari barisan Ali (Khawarij) memilih Abdullah Ibn
Wahb Al-Rasidi menjadi imam mereka sebagai pengganti dari Ali. Dalam
pertempuran dengan kekuatan Ali mereka mengalami kekalahan besar, tetapi
akhirnya seorang Khawarij bernama Abd Al-Rahman Ibn Muljam berhasil membunuh
Ali.[6]
2) Tokoh-tokoh
Kaum Khawarij dibawah pimpinan Abdullah
Ibn Wahb Al-Rasidi melakukan perlawanan terhadap Ali dan juga Mu’awiyah. Bagi
mereka, Ali dan Mu’awiyah telah masuk dalam kategori keluar dari Islam, karena
mereka telah berhukum selain hukum Allah. Dasar teologis inilah yang kemudian
dipegang oleh kaum Khawarij sehingga banyak persoalan yang muncul berkaitan
dengan siapa yang masih dianggap orang Islam dan siapa yang telah keluar dari
Islam. Ali dan Mu’awiyah dan semua orang yang menyetujui tahkim, termasuk Abu
Musa dan Amr bin Al-Ash, bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir
ini mereka luaskan artinya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang berbuat
dosa besar.[7]
Doktrin kafir itu selanjutnya
dikembangkan oleh Nafi’ Ibn Al-Azraq menjadi musyrik atau polytheist,
dan di dalam Islam syirik atau polytheisme merupakan dosa yang terbesar,
lebih besar dari kafir. Orang yang masuk dalam kategori ini adalah orang-orang
yang tidak sepaham dengan Nafi’ dan pengikutnya (Al-Azraq), bahkan orang-orang
yang sepaham tapi tidak mau berhijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang
musyrik. Barang siapa yang datang ke dalam lingkungan mereka harus mengaku
mengikuti Al-Azraq dan harus berani membunuh tawanan yang diberikan olah
Al-Azraq, jika tawanan itu tidak dibunuh maka kepalanya sendiri yang akan
dipenggal.[8]
Para pengikut Al-Azraq pada akhirnya
mengalami perpecahan disebabkan karena pahamnya yang sangat keras. Najdah Ibn
Amir, orang yang sebelumnya ingin mengikuti jejak Al-Azraq, bersama dengan Abu
Fudaik, Rasyid Al-Tawil, dan Atifah Al-Hanafi, tidak mau mengikuti paham Al-Azraq
yang mengatakan bahwa orang yang tidak mau mengikuti hijrah adalah hijrah.
Mereka sebaliknya mengatakan bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan
kekal di neraka hanyalah orang Islam yang tidak sepaham dengan golongannya,
Najdah Dkk.[9]
Dalam perkembangannya, Najdah beserta
pengikutnya ternyata terpecah karena harta rampasan perang tidak dibagi secara
merata, dan sikap lunak yang diambil Najdah terhadap khalifah Abd Malik Ibn
Marwan dari dinasti bani Umayyah. Dalam serangan terhadap kota Madinah mereka
dapat menawan seorang anak perempuan yang diminta kembali oleh khalifah Abd
Malik namun tidak disetujui oleh pengikut Najdah karena Abd Malik adalah musuh
mereka. Dalah perpecahan ini Abu Fudaik, Rasyid Al-Tawil, dan Atiah Al-Hanafi
memisahkan diri dari Najdah.[10]
Menurut Al-Syahrastani, salah satu teman dari Atifah Al-Hanafi, yaitu Abd Karim
Ibn Ajrad, memikiri paham yang lebih lunak.
[1]
Waat, W. Montgomery, Studi Islam Klasik: Wacana Kritik Sejarah.
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hal: 09
[2]
Ibid., hal: 12-13.
[3]
Ibid., hal: 13.
[4]
Siffin adalah daerah dekat Rakqqa di hulu sungai Eufrat. Sehingga perang
tersebut disebut Perang Siffin.
[5]
Baca Harun Nasution. Teologi Islam. (Jakarta: UI Press, 1986) hal: 05.
[6]
Ibid., hal: 11.
[7]
Ibid.,
[8]
Ibid., hal: 15.
[9]
Ibid., hal: 17.
[10]Ibid.,
hal: 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar